Kujang adalah sebuah senjata unik dari daerah Jawa Barat. Kujang mulai dibuat sekitar abad ke-8 atau ke-9, terbuat dari besi, baja dan bahan pamor, panjangnya sekitar 20 sampai 25 cm dan beratnya sekitar 300 gram.
Kujang merupakan perkakas yang merefleksikan ketajaman dan daya
kritis dalam kehidupan juga melambangkan kekuatan dan keberanian untuk
melindungi hak dan kebenaran. Menjadi ciri khas, baik sebagai senjata, alat pertanian, perlambang, hiasan, ataupun cindera mata.
Menurut Sanghyang siksakanda ng karesian pupuh XVII, kujang adalah senjata kaum petani dan memiliki akar pada budaya pertanian masyarakat Sunda.
Kujang dikenal sebagai benda tradisional masyarakat Jawa Barat (Sunda) yang memiliki nilai sakral serta mempunyai kekuatan magis. Beberapa peneliti[siapa?] menyatakan bahwa istilah "kujang" berasal dari kata kudihyang (kudi dan Hyang. Kujang (juga) berasal dari kata Ujang, yang berarti manusia atau manusa. Manusia yang sakti sebagaimana Prabu Siliwangi.
Kudi
diambil dari bahasa Sunda Kuno yang artinya senjata yang mempunyai
kekuatan gaib sakti, sebagai jimat, sebagai penolak bala, misalnya untuk
menghalau musuh atau menghindari bahaya/penyakit[rujukan?].
Senjata ini juga disimpan sebagai pusaka, yang digunakan untuk
melindungi rumah dari bahaya dengan meletakkannya di dalam sebuah peti
atau tempat tertentu di dalam rumah atau dengan meletakkannya di atas
tempat tidur (Hazeu, 1904 : 405-406). Sementara itu, Hyang dapat
disejajarkan dengan pengertian Dewa dalam beberapa mitologi, namun bagi
masyarakat Sunda Hyang mempunyai arti dan kedudukan di atas Dewa, hal
ini tercermin di dalam ajaran “Dasa Prebakti” yang tercermin dalam
naskah Sanghyang Siksa Kanda Ng Karesian disebutkan “Dewa bakti di
Hyang”.
Secara umum, Kujang mempunyai pengertian sebagai pusaka yang
mempunyai kekuatan tertentu yang berasal dari para dewa (=Hyang), dan
sebagai sebuah senjata, sejak dahulu hingga saat ini Kujang menempati
satu posisi yang sangat khusus di kalangan masyarakat Jawa Barat
(Sunda). Sebagai lambang atau simbol dengan niali-nilai filosofis yang
terkandung di dalamnya, Kujang dipakai sebagai salah satu estetika dalam
beberapa lambang organisasi serta pemerintahan. Disamping itu, Kujang
pun dipakai pula sebagai sebuah nama dari berbagai organisasi, kesatuan
dan tentunya dipakai pula oleh Pemda Propinsi Jawa Barat.
Di masa lalu Kujang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat
Sunda karena fungsinya sebagai peralatan pertanian. Pernyataan ini
tertera dalam naskah kuno Sanghyang Siksa Kanda Ng Karesian (1518 M)
maupun tradisi lisan yang berkembang di beberapa daerah diantaranya di
daerah Rancah, Ciamis. Bukti yang memperkuat pernyataan bahwa kujang
sebagai peralatan berladang masih dapat kita saksikan hingga saat ini
pada masyarakat Baduy, Banten dan Pancer Pangawinan di Sukabumi.
Jumat, 01 November 2013
Senin, 21 Oktober 2013
TARAWANGSA
Tarawangsa merupakan salah satu jenis kesenian rakyat yang ada di Jawa Barat.
Istilah "Tarawangsa" sendiri memiliki dua pengertian: (1) alat musik
gesek yang memiliki dua dawai yang terbuat dari kawat baja atau besi dan
(2) nama dari salah satu jenis musik tradisional Sunda.
Sejarah
Tarawangsa lebih tua keberadaannya daripada rebab, alat gesek yang lain. Naskah kuno Sewaka Darma dari awal abad ke-18 telah menyebut nama tarawangsa sebagai nama alat musik. Rebab muncul di tanah Jawa setelah zaman Islam sekitar abad ke-15—16, merupakan adaptasi dari alat gesek bangsa Arab yang dibawa oleh para penyebar Islam dari tanah Arab dan India. Setelah kemunculan rebab, tarawangsa biasa pula disebut dengan nama rebab jangkung (rebab tinggi), karena ukuran tarawangsa umumnya lebih tinggi daripada rebab.sampurasun dan rampes
Sampurasun dan Rampes memang tidak dapat dipisahkan. Ketika ada
orang yang mengucap sampurasun maka jawabannya rampes. Dalam kesempatan
acara sosialisasi tentang perundang-undangan Lingkungan Hidup, Itoc
sempat bertutur soal kebiasaannya mengucapkan sampurasun. Sampurasun,
Rampes artinya, tolong maafkan kami. “Mohon maaf takut ada kesalahan”,
kata Itoc.
Ia mengatakan pengucapan kata Sampurasun yang dijawab Rampes merupakan
salah satu kearifan lokal terutama bagi masyarakat Sunda. Meskipun saat
ini, dihadapkan pada kemajuaan zaman di era globalisasi bukan berari
melupakan nilai-nilai budaya lokal. “Bumi dan tanah ini tidak berpindah,
yang bergerak adalah manusiannya. jadi meskipun zaman sudah maju bukan
berarti harus melupakan budaya lokal. Nilai-nilai budaya harus tetap
terpelihara dan dilestarikan,” ujarnya.
Kendati sudah akrab ditelinga, tidak salahnya untuk mengetahui filosofi kata sampurasun.
Dalam sejarahnya peradaban Sunda, kata Sampurasun merupakan singkatan dari Sampura
(hampura) yang artinya punten. Kata ini singkatan dari “abdi
nyuhungkeun dihapunten” (Saya mohon dimaafkan). Sehingga, ketika
seseorang mengucapkan Sampurasun maka jawabannya yaitu rampes, artinya
baik dimaafkan (mangga dihapunten). Maka kata Sampurasun Rampes menjadi
frase yang pengucapannya tidak dapat dipisahkan satu sama lain.
Kata ini biasa dipakai orang Sunda ketika bertamu ke rumah orang.
Dipakai pula untuk menyapa khalayak sebagai kata pembuka dalam
kesempatan berpidato maupun memberikan sambutan. Atau kata yang ditulis
saat mengawali kalimat dalam surat. Sampurasun boleh jadi hanya secuil
dari bentuk pelestarian kearifan lokal. Paling tidak, kata sederhana itu
paling mudah dilakukan dan dipraktekan dalam perilaku kehidupan
sehari-hari. Meskipun sejatinya, kearifan lokal dalam tatakrama Sunda
tidak sekedar kata sampuran.
![]() |
Add caption |
Langganan:
Postingan (Atom)