Jumat, 12 September 2014


Hasil gambar untuk celempung




Celempung adalah sebuah waditra (istrumen musik tradisional) jenis alat pukul ini terbuat dari bambu,dimainkan dengan cara dipukul oleh alat bantu pemukul. Waditra ini berperan seperti kendang (gendang),yaitu sebagai pengatur irama lagu.
Bentuk penyajian waditra 'Celempung' dinamakan 'Celempungan'.
Pertunjukan dilengkapi waditra kacapi,rebab atau suling dan
sebuah goong buyung.
1. Pengertian istilah :
Celempungan merupakan alat bunyi yang diadopsi dari 'Icikibung',yaitu bunyi sebuah permainan tradisional berupa pukulan telapak tangan dan gerak sikut diatas permukaan air,sehingga menimbulkan bunyi-bunyi yang khas. permainan ini biasa dimainkan oleh para wanita (gadis) yang sedang mandi di sungai.
Bunyi dari permainan 'Icikibung'itu ditiru dan dipindahkan menjadi waditra yang terbuat dari bambu besar (awi gombong),yang disebut 'Celempung'.
2. Bahan dan Rancang Bangun :
Bahan dasar waditra 'Celempung' dibuat dari bahan bambu,untuk yang berbentuk bulat. Sedang untuk yang berbentuk segi enam atau segi delapan terbuat dari bahan kayu. alat pemukulnya dapat dibuat dari bahan bambu atau kayu yang ujungnya dibalut dengan kain atau benda tipis agar menghasilkan suara nyaring,jika dipukulkan pada celempung.
Bagian-bagian celempung terdiri dari:'Sirah' penutup pinggir sebelah kiri,'Pongpok',penutup sebelah kanan,dua utas sembilu berfungsi sebagai senar,'Talingkup' penghubung kedua utas sembilu,'Nawa' sebagai lubang suara,'Baham' sebagai tempat pengolah suara.
Cara membuat celempung,pertama memilih seruas bambu besar(awi gombong),yang umurnya telah tua agar tidak terserang bubuk. Ruasan bambu itu diukur,selanjutnya disayatlah sembilunya untuk dijadikan senar. Kedua senar itu dinamakan 'alur Celempung'.
Dibagian mukanya diratakan,dan diberi lubang. lubang tersebut dinamakan 'Nawa' untuk lubang udara,dibagian 'Papalayu' (pinggir),dibuatkan sebuah lubang yang disebut 'Nawa'yaitu sebagai sumber untuk mengolah suara yang diatur oleh telapak tangan kiri.
Kedua utas sembilu itu (alur) dihubungkan dengan selembar daging bambu dengan ukuran antara lain:panjang 5 s/d 7cm,lebar antara 3 s/d 4cm, tebal antara 0,5 s/d 1cm. Alat ini dinamakan 'Talingkup'.
Untuk mengatasi agar kedua alur itu tegang maka diberi alat ganjal yang dibuat dari bambu juga,yang disebut 'Tumpangsari'.
Diujung pangkal didepan tumpangsari terbentang alat untuk menahan kedua alur agar tidak lepas,nama alat itu disebut 'Kelab'

Senin, 17 Februari 2014

Gatotkaca adalah seorang tokoh dalam wiracarita Mahabharata, putra Bimasena (Bima) atau Wrekodara dari keluarga Pandawa. Ibunya bernama Hidimbi (Harimbi), berasal dari bangsa rakshasa. Gatotkaca dikisahkan memiliki kekuatan luar biasa. Dalam perang besar di Kurukshetra, ia menewaskan banyak sekutu Korawa sebelum akhirnya gugur di tangan Karna.
Di Indonesia, Gatotkaca menjadi tokoh pewayangan yang sangat populer. Misalnya dalam pewayangan Jawa, ia dikenal dengan sebutan Gatutkaca (bahasa Jawa: Gathutkaca). Kesaktiannya dikisahkan luar biasa, antara lain mampu terbang di angkasa tanpa menggunakan sayap, serta terkenal dengan julukan "otot kawat tulang besi".
Menurut versi Mahabharata, Gatotkaca adalah putra Bimasena dari keluaga Pandawa yang lahir dari seorang rakshasa perempuan bernama Hidimbi. Hidimbi sendiri merupakan raksasa penguasa sebuah hutan; tinggal bersama kakaknya yang bernama Hidimba (dalam pewayangan Jawa, ibu Gatotkaca lebih terkenal dengan sebutan Arimbi. Menurut versi ini, Arimbi bukan sekadar penghuni hutan biasa, melainkan putri dari Kerajaan Pringgadani, negeri bangsa rakshasa).
Kisah kelahiran Gatotkaca dikisahkan secara tersendiri dalam pewayangan Jawa. Namanya sewaktu masih bayi adalah Jabang Tetuka. Sampai usia satu tahun, tali pusarnya belum bisa dipotong walau menggunakan senjata apa pun. Arjuna (adik Bimasena) pergi bertapa untuk mendapatkan petunjuk dewa demi menolong keponakannya itu. Pada saat yang sama Karna, panglima Kerajaan Hastina juga sedang bertapa mencari senjata pusaka. Karena wajah keduanya mirip, Batara Narada selaku utusan kahyangan memberikan senjata Kontawijaya kepada Karna, bukan kepada Arjuna. Setelah menyadari kesalahannya, Narada pun menemui Arjuna yang sebenarnya. Lalu Arjuna mengejar Karna untuk merebut senjata Konta, sehingga pertarungan pun terjadi. Karna berhasil meloloskan diri bersama senjata Konta, sedangkan Arjuna hanya berhasil merebut sarung pembungkus pusaka tersebut. Sarung pusaka Konta terbuat dari kayu mastaba yang ternyata bisa digunakan untuk memotong tali pusar Tetuka. Saat dipakai untuk memotong, kayu mastaba musnah dan bersatu dalam perut Tetuka. Kresna yang ikut serta menyaksikannya berpendapat bahwa pengaruh kayu Mastaba akan menambah kekuatan bayi Tetuka. Ia juga meramalkan bahwa kelak Tetuka akan tewas di tangan pemilik senjata Konta
Menurut versi pewayangan Jawa, Tetuka diasuh di kahyangan oleh Narada yang saat itu sedang digempur oleh Patih Sekipu dari Kerajaan Trabelasuket. Patih tersebut diutus rajanya, Kalapracona untuk melamar bidadari bernama Batari Supraba. Tetuka dihadapkan sebagai lawan Sekipu. Semakin dihajar, Tetuka justru semakin kuat. Karena malu, Sekipu mengembalikan Tetuka kepada Narada untuk dibesarkan saat itu juga. Narada menceburkan tubuh Tetuka ke dalam kawah Candradimuka, di Gunung Jamurdipa. Para dewa kemudian melemparkan berbagai jenis senjata pusaka ke dalam kawah. Beberapa saat kemudian, Tetuka muncul ke permukaan sebagai seorang laki-laki dewasa. Segala jenis pusaka para dewa telah melebur dan bersatu ke dalam dirinya. Kemudian Tetuka bertarung melawan Sekipu dan berhasil membunuhnya dengan gigitan taringnya. Kresna dan para Pandawa saat itu datang menyusul ke kahyangan. Kresna memotong taring Tetuka dan menyuruhnya berhenti menggunakan sifat-sifat kaum raksasa. Batara Guru, raja kahyangan menghadiahkan seperangkat pakaian pusaka, yaitu Caping Basunanda, Kotang Antrakusuma, dan Terompah Padakacarma untuk dipakai Tetuka, yang sejak saat itu berganti nama menjadi Gatotkaca. Dengan mengenakan pakaian pusaka tersebut, Gatotkaca mampu terbang menuju Kerajaan Trabelasuket dan membunuh Kalapracona.

UNDERGOD

UNDERGOD Band yang terbentuk pada 2004 lalu dengan personil awal ada Said (Lead Guitar), Abas (Bass), Kinoy (Vocal), dan Uti (Drum) kemudian vakum -+3 tahun mereka hadir kembali dengan perubahan formasi. Abas yang semula memaikan bass kini diposisikan sebagai penggebuk drum. Dan pada bass sampai saat ini kami belum menemukan pemain yang solid. Band yang dilahirkan dari rahim Ujungberung, Bandung ini memainkan style Teknikal Death Metal dengan komposisi melodi sederhana.

 

Single pertama mereka berjudul 'Cai Kawantun'. Berkat single ini sebuah perusahaan rekaman indie label yaitu PIECES Records melirik dan me-review demo-demo lagu UNDERGOD. Single kedua UNDERGOD yang berjudul 'Kudak-Kadek' (Feat. Aki Amenk DISINFECTED) juga berhasil merebut perhatian publik. Lagu ini adalah salah satu lagu favorit yang juga dipilih untuk dijadikan track dalam kompilasi PADIGA (Panceg Dina Galur) 2009. Selain lagu 'Kudak-Kadek', lagu yang berjudul 'Saguru Saelmu, Tong Ngaganggu' juga terpilih sebagai bagian dalam kompilasi Brutally Sickness.

 

Pada tahun 2010, UNDERGOD merilis album penuh mereka dibawah label PIECES Records. Album yang dikemas dalam format CD ini mengambil titel dari salah satu track didalamnya, yaitu 'Saguru, Saelmu, Tong Ngaganggu' yang keseluruhannya berisi 10 track.

 

Dalam album 'Saguru Saelmu, Tong Ngaganggu' ini Kinoy sang vokalis dengan khas menumpahkan lirik berbahasa Sunda dalam keseluruhan lagunya. Said sang gitaris memainkan style musik dalam komposisi padat, riff gitar yang cepat, dan sound yang tajam. Dan Abas adalah pemain drum yang atraktif juga berpower membuat UNDERGOD menjadi sebuah terobosan baru death metal yang berbahaya dan layak direkomendasikan sebagai band terbaik di Bandung begitu juga dengan saya dan media sederhana ini, UNDERGOD salah satu band favourite aku.

'Saguru Saelmu, Tong Ngaganggu'  menjadi sebuah tema yang terbesit dalam album UNDERGOD. Sebuah tema yang menggambarkan realitas sosial. Ada gambaran kekecewaan, marah, sadis juga agak sedikit romantis. Lagu 'Si Madu Kampak' misalnya, lagu ini menceritakan tentang sebuah perempuan yang tergilas roda ekonomi kelas bawah yang kebutuhan dasarnya tidak terpenuhi. Ia rela menjadi pekerja seks yang liar dan matang, dalam arti perempuan tersebut sudah memilih jalur hidupnya dalam sebuah dunia prostitusi. Sementara lagu 'Kudak-Kadek' mengisahkan tentang seorang preman kampung yang beda terdidik, sebuah polemik sosial yang memang saat ini mengakar dibeberapa teritori yang berkriminalitas tinggi. Sebuah permasalahan klasik mulai dari perebutan wilayah kekuasaan hingga permasalahan perempuan yang itu pun bukan karena suka, sayang, cinta, namun atas dasar libido yang tiap hari terus digempur oleh CD-CD porno murahan. “AING hirup di tanah Sunda. Geus hiji kawajiban ngamumule Ki Sunda. Mun urang bule bangga ngomong make basana sorangan, ku naon urang henteu.” Itulah kalimat yang terlontar dari mulut Kinoy Bacok saat ditanya perihal alasan memilih kesundaan sebagai ciri khas Undergod.

 

undergod full track-kudak kadek-saguru saelmu tong ngaganggu-cai kawantun-sirit killer-sanghyang amarwatasutha-si madu kampak-ngimpi modol-garong kahot-raheut jeung raheut-lain saukur raheut


Jumat, 01 November 2013

Sejarah Kujang

Kujang adalah sebuah senjata unik dari daerah Jawa Barat. Kujang mulai dibuat sekitar abad ke-8 atau ke-9, terbuat dari besi, baja dan bahan pamor, panjangnya sekitar 20 sampai 25 cm dan beratnya sekitar 300 gram.
Kujang merupakan perkakas yang merefleksikan ketajaman dan daya kritis dalam kehidupan juga melambangkan kekuatan dan keberanian untuk melindungi hak dan kebenaran. Menjadi ciri khas, baik sebagai senjata, alat pertanian, perlambang, hiasan, ataupun cindera mata.
Menurut Sanghyang siksakanda ng karesian pupuh XVII, kujang adalah senjata kaum petani dan memiliki akar pada budaya pertanian masyarakat Sunda.
Kujang dikenal sebagai benda tradisional masyarakat Jawa Barat (Sunda) yang memiliki nilai sakral serta mempunyai kekuatan magis. Beberapa peneliti[siapa?] menyatakan bahwa istilah "kujang" berasal dari kata kudihyang (kudi dan Hyang. Kujang (juga) berasal dari kata Ujang, yang berarti manusia atau manusa. Manusia yang sakti sebagaimana Prabu Siliwangi.
Kudi diambil dari bahasa Sunda Kuno yang artinya senjata yang mempunyai kekuatan gaib sakti, sebagai jimat, sebagai penolak bala, misalnya untuk menghalau musuh atau menghindari bahaya/penyakit[rujukan?]. Senjata ini juga disimpan sebagai pusaka, yang digunakan untuk melindungi rumah dari bahaya dengan meletakkannya di dalam sebuah peti atau tempat tertentu di dalam rumah atau dengan meletakkannya di atas tempat tidur (Hazeu, 1904 : 405-406). Sementara itu, Hyang dapat disejajarkan dengan pengertian Dewa dalam beberapa mitologi, namun bagi masyarakat Sunda Hyang mempunyai arti dan kedudukan di atas Dewa, hal ini tercermin di dalam ajaran “Dasa Prebakti” yang tercermin dalam naskah Sanghyang Siksa Kanda Ng Karesian disebutkan “Dewa bakti di Hyang”.
Secara umum, Kujang mempunyai pengertian sebagai pusaka yang mempunyai kekuatan tertentu yang berasal dari para dewa (=Hyang), dan sebagai sebuah senjata, sejak dahulu hingga saat ini Kujang menempati satu posisi yang sangat khusus di kalangan masyarakat Jawa Barat (Sunda). Sebagai lambang atau simbol dengan niali-nilai filosofis yang terkandung di dalamnya, Kujang dipakai sebagai salah satu estetika dalam beberapa lambang organisasi serta pemerintahan. Disamping itu, Kujang pun dipakai pula sebagai sebuah nama dari berbagai organisasi, kesatuan dan tentunya dipakai pula oleh Pemda Propinsi Jawa Barat.
Di masa lalu Kujang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat Sunda karena fungsinya sebagai peralatan pertanian. Pernyataan ini tertera dalam naskah kuno Sanghyang Siksa Kanda Ng Karesian (1518 M) maupun tradisi lisan yang berkembang di beberapa daerah diantaranya di daerah Rancah, Ciamis. Bukti yang memperkuat pernyataan bahwa kujang sebagai peralatan berladang masih dapat kita saksikan hingga saat ini pada masyarakat Baduy, Banten dan Pancer Pangawinan di Sukabumi.


Senin, 21 Oktober 2013

TARAWANGSA

Tarawangsa merupakan salah satu jenis kesenian rakyat yang ada di Jawa Barat. Istilah "Tarawangsa" sendiri memiliki dua pengertian: (1) alat musik gesek yang memiliki dua dawai yang terbuat dari kawat baja atau besi dan (2) nama dari salah satu jenis musik tradisional Sunda.

Sejarah

Tarawangsa lebih tua keberadaannya daripada rebab, alat gesek yang lain. Naskah kuno Sewaka Darma dari awal abad ke-18 telah menyebut nama tarawangsa sebagai nama alat musik. Rebab muncul di tanah Jawa setelah zaman Islam sekitar abad ke-1516, merupakan adaptasi dari alat gesek bangsa Arab yang dibawa oleh para penyebar Islam dari tanah Arab dan India. Setelah kemunculan rebab, tarawangsa biasa pula disebut dengan nama rebab jangkung (rebab tinggi), karena ukuran tarawangsa umumnya lebih tinggi daripada rebab.

sampurasun dan rampes

Sampurasun dan Rampes memang tidak dapat dipisahkan. Ketika ada orang yang mengucap sampurasun maka jawabannya rampes. Dalam kesempatan acara sosialisasi tentang perundang-undangan Lingkungan Hidup, Itoc sempat bertutur soal kebiasaannya mengucapkan sampurasun. Sampurasun, Rampes artinya, tolong maafkan kami. “Mohon maaf  takut ada kesalahan”, kata Itoc.
Ia mengatakan pengucapan kata Sampurasun yang dijawab Rampes merupakan salah satu kearifan lokal terutama bagi masyarakat Sunda. Meskipun saat ini, dihadapkan pada kemajuaan zaman di era globalisasi bukan berari melupakan nilai-nilai budaya lokal. “Bumi dan tanah ini tidak berpindah, yang bergerak adalah manusiannya. jadi meskipun zaman sudah maju bukan berarti harus melupakan budaya lokal. Nilai-nilai budaya harus tetap terpelihara dan dilestarikan,” ujarnya.
Kendati sudah akrab ditelinga, tidak salahnya untuk mengetahui filosofi kata sampurasun.

Dalam sejarahnya peradaban Sunda, kata Sampurasun merupakan singkatan dari Sampura

(hampura) yang artinya punten. Kata ini singkatan dari “abdi nyuhungkeun dihapunten” (Saya mohon dimaafkan). Sehingga, ketika seseorang mengucapkan Sampurasun maka jawabannya yaitu rampes, artinya baik dimaafkan (mangga dihapunten). Maka kata Sampurasun Rampes menjadi frase yang pengucapannya tidak dapat dipisahkan satu sama lain.
Kata ini biasa dipakai orang Sunda ketika bertamu ke rumah orang. Dipakai pula untuk menyapa khalayak sebagai kata pembuka dalam kesempatan berpidato maupun memberikan sambutan.  Atau kata yang ditulis saat mengawali kalimat dalam surat. Sampurasun boleh jadi hanya secuil dari bentuk pelestarian kearifan lokal. Paling tidak, kata sederhana itu paling mudah dilakukan dan dipraktekan dalam perilaku kehidupan sehari-hari. Meskipun sejatinya, kearifan lokal dalam tatakrama Sunda tidak sekedar kata sampuran.

Add caption

 

Mugi KARUHUN marengan, GUSTI nangtayungan.

Rahayu, rahayu, rahayu kersaning Gusti rahayu.


SAMPURASUN _/\_